GpGlBSW0TfG8TpY7TpOiTUz5Gd==

Kisah Getir Sri Sukanti, Warga Grobogan yang Dijadikan Budak Seks Tentara Jepang

Sri Sukanti, perempuan asal Gundih, Grobogan, yang pernah menjadi jugun ianfu semasa pendudukan tentara Jepang. (Istimewa)
Khazanahgrobogan - Kolonialisme Jepang di Indonesia memang tak lama, hanya berkisar 3,5 tahun. Tapi penjajahan itu menyisakan sejarah kelam dan getir tentang kekejaman yang amat biadab. Di antaranya adalah terkait kebijakan rumah bordil oleh militer Jepang untuk memenuhi hasrat seksual para tentara Jepang.

Jugun ianfu, istilah yang populer untuk menyebut para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang. Mereka ditampung di sebuah rumah dan dipaksa untuk melayani nafsu seks tentara Jepang.

Jugun ianfu adalah mimpi buruk bagi banyak perempuan Indonesia, salah satunya adalah Sri Sukanti, perempuan asal Gundih, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan. Ia dijadikan budak seks tentara Jepang sejak usia 9 tahun. Ia tercatat menjadi jugun ianfu termuda se-Asia Tenggara. Dan menjadi jugun ianfu adalah kisah teramat getir yang merusak hampir di sepanjang kehidupannya.

Sri Sukanti terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang wedana bernama Soedirman dan ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya bermula pada sekira tahun 1940-an. 

Pada suatu siang, sekitar pukul 11, datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip di pinggangnya, ditemani Lurah Desa Gundih bernama Djudi. Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang itu, kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita.

Sri Sukanti memang dikarunia wajah jelita. Kecantikan itu sudah terlihat memancar saat ia berusia 9 tahun. Di antara saudara perempuannya, Sri Sukanti-lah yang memiliki kulit paling putih dan hidung mancung. Sehingga banyak orang-orang yang memanggilnya dengan sebutan Nyah Kran, karena ia dianggap seperti Nyonya Belanda.

Siang itu, ia baru pulang dari Sekolah Rakyat di balai desa. Melihat kedatangan tentara Jepang, ia ketakutan. Ia berdiri di belakang punggung ayahnya sambil bergetar memegangi bajunya.

Salah satu dari tentara Jepang itu berbicara dengan bahasa Indonesia kepada ayahnya sambil melirik-lirik tajam ke arahnya. Lalu berguman, "Bagus-bagus". Salah seorang tentara Jepang meminta Sri Sukanti ikut dengannya. Namun ayahnya bersusah payah menolak halus permintaan Jepang itu.

Tiga hari kemudian, pukul tiga sore dua orang Jepang itu kembali lagi ke rumahnya. Kali ini mereka datang untuk mengambil Sri Sukanti. Si Jepang berkata kepada ayahnya, "Jika anakmu tidak boleh saya ambil, nanti saya pukuli semua anak-anakmu sampai mati".

Mendengar ancaman itu, tentu saja Sri kecil menangis ketakutan. Sang ayah mencoba menenangkan hati Sri. Akhirnya, sore itu Sri Sukanti dibawa serta dengan paksa. Ibunya menangis tersedu menyaksikan anaknya digiring paksa untuk ikut bersama tentara Jepang itu.

Sri kecil dibawa menaiki mobil Jeep. Tak lama mobil itu sudah memasuki sebuah kompleks gedung yang bernama Gedung Papak.

Kemudian diketahui, tentara Jepang yang membawa Sri itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, Sri kecil dimandikan, dikeramasi, dibedaki, dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka. Tanpa membuang waktu lagi, Ogawa melampiaskan nafsu seksualnya sebanyak enam kali hingga keesokan hari.

Akibatnya, Sri kecil mengalami pendarahan hebat, hingga vaginanya bengkak sebesar kepalan tangan. Ia terus menangis kesakitan sambil memanggil-manggil nama ibunya.

Sejak malam itu, ia menjadi tahanan Ogawa di Gedung Papak dan menjadi budak seks yang kemudian populer dengan nama jugun ianfu. Selama berada di Gedung Papak, secara rutin dia disuntik agar tidak memiliki anak. Akibat penyiksaan yang diterimanya, ia mengalami kerusakan pada rahimnya dan divonis tidak dapat memiliki keturunan seumur hidup.

Di Gedung Papak, terdapat empat perempuan asal desa Gundih dan Toroh yang bernasib sama dengannya. Akan tetapi nasib mereka lebih buruk lagi, karena jiwa dan tubuh mereka dipaksa untuk melayani puluhan prajurit pangkat rendah di barak-barak. Selama di sana, tak sedikit pun Sri kecil berniat melarikan diri karena keselamatan keluarganya lebih penting dari apapun.

Sri Sukanti atau kemudian akrab dipanggil Mbah Sri meningal dunia di Kota Salatiga pada usia 84 tahun. Dia meninggal pada Rabu (20/12/2017), sekitar pukul 22.00 WIB. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Kelurahan Gendongan, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. (BMA - Khazanah Grobogan, diolah dari berbagai sumber)

 



Jasaview.id

Type above and press Enter to search.